Perubahan Budaya Sebagai Akibat Pelaksanaan Otonomi Daerah

blogger templates
Perubahan Budaya Sebagai Akibat Pelaksanaan Otonomi Daerah - Pelaksanaan otonomi daerah di berbagai daerah di Indonesia telah menimbulkan dampak, baik dampak positif maupun dampak negatif seperti beberapa contoh yang telah penulis sebutkan di atas. Selain itu otonomi daerah juga telah membawa perubahan-perubahan budaya dalam masyarakat Indonesia.

Pengertian budaya atau kebudayaan dalam arti luas menurut E.B.Tylor adalah kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, moral, hukum, adat-istiadat dan kemampuan-kemampuan lain  serta kebiasaan-kebiasaan yang didapatkan manusia sebagai anggota masyarakat melalui proses belajar  (Tylor dalam Soekanto , 1969 : 55). Dalam pengertian sempit, kebudayaan diartikan sebagai hasil cipta, karya dan karsa manusia untuk mengungkapkan hasratnya akan keindahan . Jadi pengertian kebudayaan dalam arti sempit adalah berupa hasil-hasil kesenian.

Perubahan kebudayaan yang akan dibahas dalam tulisan ini difokuskan pada bahasan kebudayaan dalam arti luas, dalam arti perubahan perilaku pemerintah dan  masyarakat yang terkait dengan bidang politik, pemerintahan, ekonomi, sosial dan sebagainya, walaupun bahasannya secara umum dan tidak mengupas  seluruh aspek dari bidang-bidang tersebut.

Sejalan dengan tekat pemerintah untuk melaksanakan otonomi daerah, maka telah terjadi perubahan-perubahan paradigma (Warseno dalam Ambardi dan Prihawantoro, 2002 : 181), yaitu antara lain :
  1. Paradigma dari sentralisasi ke desentralisasi
  2. Paradigma kebijakan tertutup ke kebijakan terbuka (transparan)
  3. Paradigma yang menjadikan masyarakat sebagai obyek pembangunan ke masyarakat yang menjadi subyek pembangunan.
  4. Paradigma dari otonomi yang nyata dan bertanggungjawab ke otonomi yang luas, nyata dan bertanggung jawab.
  5. Paradikma dari organisasi yang tidak efisien  ke organisasi yang efisien .
  6. Paradigma dari perencanaan dan pelaksanaan program yang bersifat top down ke paradigma sistem perencanaan campuran top down dan bottom- up.

Perubahan paradigma ini juga merubah budaya masyarakat dalam melaksanakan kegiatannya dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah. Perubahan paradigma pemerintahan sentralisasi ke pemerintahan desentralisasi telah menyebabkan kebingungan pada aparat pemerintah daerah yang sudah terbiasa menerima program-program yang telah dirancang oleh pemerintah pusat. Sekarang mereka dituntut untuk melaksanakan pemerintahan yang efisien dan berorientasi pada kualitas pelayanan serta melibatkan partisipasi masyarakat. Pemerintah Daerah dituntut untuk secara mandiri melaksanakan aktivitas perencanaan, pelaksanaan sampai pada pengawasan program pembanguan yang dilaksanakan di daerahnya.  Selain itu  daerah dituntut kemampuannya untuk membiayai sebagian besar kegiatan pembangunannya sehingga diperlukan sumberdaya manusia yang berkualitas, kreatif, inovatif  , yang diharapkan dapat menghasilkan pemikiran , konsep dan kebijakan dalam rangka mencari sumber pembiayaan pembangunan tersebut. Perubahan paradigma dalam waktu yang relatif singkat, tentu saja belum membuat para aparat pemerintah daerah dan masyarakat memahami sepenuhnya hakekat dan aturan-aturan pelaksanaan otonomi daerah. Walaupun demikian sedikit demi sedikit aparat pemerintah daerah dan masyarakat mulai belajar menyesuaikan diri dengan iklim otonomi daerah. Aktivitas yang mengarah pada efisiensi dan upaya peningkatan kualitas pelayanan, inovasi dan kreativitas dalam penggalian potensi daerah mulai digiatkan. Beberapa contoh dapat disebutkan yaitu bahwa instansi-instansi pemerintah di daerah giat mendorong para pegawainya untuk meningkatkan dan mengembangkan ketrampilan dan keahliannya melalui peningkatan pendidikan, baik formal maupun non formal. Contoh yang lain adalah pemangkasan prosedur birokrasi yang bertele-tele, dengan tujuan untuk efisiensi . 

Iklim keterbukaan yang mewarnai otonomi daerah telah membawa perubahan pada perilaku masyarakat yang semula tidak diberi kesempatan untuk mengetahui dan berperan dalam perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan pembangunan  kemudian diberi kesempatan untuk terlibat dalam program-program pembangunan. Keadaan ini kemudian melahirkan sikap-sikap yang kadang-kadang sangat berlebihan. Masyarakat yang masih awam dengan penerapan sistim demokrasi menganggap bahwa semua masalah pemerintahan juga harus dipertanggungjawabkan secara langsung kepada mereka. Pada awal masa reformasi kita dapat melihat maraknya demonstrasi masyarakat yang kadang-kadang sangat brutal dan kasar menuntut agar  pejabat-pejabat pemerintahan yang dianggap telah menyimpang dalam melaksanakan tugas-tugas yang diamanatkan kepadanya diadili atau mengundurkan diri.  Masyarakat seolah-olah sudah tidak mempunyai kepercayaan kepada lembaga yang dapat menyalurkan aspirasi mereka, sehingga tindakan main hakim sendiiri menjadi pemandangan yang sangat umum. Sebagai contoh kita dapat melihat pada peristiwa yang menimpa Bupati Temanggung yang baru-baru ini diminta oleh hampir seluruh masyarakat Temanggung untuk mengundurkan diri, karena dianggap telah melakukan korupsi. Bahkan para pegawai negeri di Temanggung melakukan demonstrasi dan mogok kerja sebagai protes terhadap Bupati. Tentu saja kalau kita melihat secara proporsional pada tindakan masyarakat terutama para pegawai negeri, tindakan mogok kerja tersebut merupakan tindakan yang menyalahi aturan dan dapat dikenakan sanksi karena para pegawai negeri tersebut mengemban tugas pelayanan kepada masyarakat.

Otonomi daerah yang bertujuan untuk pengelola daerah atas prakarsa sendiri dalam beberpa bidang mulai menampakkan perubahan. Satu contoh di beberapa daerah telah disusun hukum dan peraturan yang disesuaikan dengan kultur (budaya) masyarakat dan perjalanan sejarah daerah tersebut. Ada beberapa contoh daerah yang telah menyusun peraturan  dan hukum berdasarkan syariat  atau hukum Islam. Baru-baru ini di Kabupaten Bireuen, Provinsi Nangroe Aceh Darussalam (NAD) telah diberlakukan hukum cambuk kepada 15 orang terpidana yang melakukan judi. Hukum cambuk yang mengundang pro-kontra ini dilaksanakan pada tanggal 24 Juni 2005 . Pijakan hukum yang melandasi hukum cambuk adalah Undang-undang  Nomor 14/1999 Tentang Pelaksanaan Keistimewaan Provinsi Nangroe Aceh Darussalam, Undang-undang Nomor 18/2001 Tentang Otonomi Khusus, dan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 5/2000 Tentang pelaksanaan Syariat  Islam. Petunjuk teknis pelaksanaan hukum cambuk bagi yang melanggar syariat Islam dituangkan dalam Peraturan Gubernur Aceh Nomor 10/2005 sebagai pengganti Peraturan Daerah (Qanun). Dalam Peraturan Gubernur ini setidaknya ditetapkan empat kasus yang pelakunya bisa dikenai hukum cambuk, yaitu judi, berpasangan di tempat gelap dengan orang yang bukan muhrimnya, minum minuman keras/mabuk dan berzina (Gatra, Nomor 33, 2 Juli 2005). Hukum Cambuk yang dilaksanakan di  Nangroe Aceh Darussalam ini sebenarnya bukan bertujuan untuk mempertontonkan kesadisan dan kekejaman dari penegak hukum di sana, melainkan untuk membuat jera para pelaku tindak kraiminal dan agar masyarakat lebih berhati-hati serta melaksanakan syariat Islam dengan baik dan benar.

Daerah lain yang juga mulai menerapkan aturan berdasarkan  syariat Islam  adalah Cianjur. Di sana telah disusun  aturan yang menghimbau wanita muslim mengenakan jilbab serta himbauan kepada suluruh muslim meninggalkan pekerjaannya untuk segera menunaikan sholat ketika adhan berkumandang. Pelangaran pada peraturan ini sementara berupa sanksi moral dan sanksi sosial.

Perilaku masyarakat yang terkait dengan penggalian  dan pengembangan  potensi  ekonomi juga melahirkan sikap dan kultur berkreasi dan berinovasi  untuk menciptakan hal-hal baru. Dalam upaya meningkatkan daya saing ini beberapa daerah harus memperhatikan potensi sumberdaya alam, sumberdaya manusia, kultur dan pimpinan/pemegang kebijakan. Kalau tidak, maka akan terjadi persaingan yang tidak sehat  antara kelompok masyarakat di daerah tersebut, persaingan antar daerah dan lain sebagainya. Bahkan tidak jarang antar daerah saling berebut lahan atau sumber daya alam yang menjadi sumber ekonomi . Kadang-kadang ambisi untuk meningkatkan PAD melahirkan sikap “ rakus “ pada daerah-daerah.  Daerah-daerah yang sangat minim sumberdaya alamnya dipacu untuk  melihat lebih jeli peluang-peluang di sektor ekonomi berskala kecil atau yang sering disebut sebagai ekonomi kerakyatan (usaha kecil dan menengah). Dari pengalaman krisis ekonomi yang dialami Indonesia pada tahun 1997, ekonomi rakyat dan sektor informal mampu bertahan dan bahkan mampu menjadi penyangga (buffer) perekonomian daerah , sehingga mampu menyelamatkan kehidupan rakyat ( Mubyarto, 2001 : 196). Beberapa contoh daerah yang dapat menyesuaikan diri dengan keadaan setelah krisis ekonomi dan tetap dapat bertahan dan dapat meningkatkan pertumbuhan ekonominya adalah Kabupaten Sukoharjo dan Desa Banyuraden, Kecamatan Gamping, Kabupaten Sleman. Kabupaten Sukoharjo selama krisis ekonomi tidak terkena dampak yang berarti karena industri kecil dan sektor informal yang dikembangkan di daerah tersebut tidak tergantung pada bahan baku import dan melayani pasar lokal yang cukup luas. Berbeda dengan Kabupaten Sukoharjo, Desa Banyuraden Kabupaten Sleman berhasil memberdayakan ekonomi masyarakat melalui pengelolaan dan pengolahan sampah, yang semula menjadi sumber masalah lingkungan di desa tersebut. Desa Banyuraden berhasil memanfaatkan sampah menjadi sumber ekonomi masyarakat dengan cara mengolah sampah menjadi kompos atau pupuk organik dan dan barang  kerajinan. Kita tidak dapat memungkiri bahwa tidak semua daerah berhasil mengatasi krisis ekonomi melalui pemberdayaan ekonomi rakyat. Banyak daerah terutama di luar Jawa yang tidak memiliki sumberdaya ekonomi dan sumberdaya manusia yang memadai patut mendapatkan perhatian yang lebih besar dari Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah untuk meningkatkan kesejahteraan mereka.

Dalam perspektif hukum internasional, otonomi menunjuk pada ”sebagian wilayah negara yang memiliki hak untuk mengatur diri sendiri dalam beberapa kewenangan melalui penerapan hukum dan peraturan tanpa menyatakan memiliki negara sendiri” (Cornell, 2007: 249). Dengan demikian otonomi secara implisit mengakui hak-hak khusus sebuah wilayah untuk memiliki hak, kewenangan, dan tanggungjawab yang secara administratif, sebagian dari terpisah dari pemerintah pusat. Konsepsi otonomi yang digunakan di dalam makalah ini meliputi otonomi dalam berbagai aspek, termasuk otonomi wilayah, otonomi budaya dan otonomi finansial.
  • Otonomi dan Identitas

Globalisasi merupakan salah satu faktor yang berpengaruh kuat pada peningkatan intensitas gerakan-gerakan pemisahan diri. Negara mendapat tekanan dari bawah (rakyat), dari samping (negara-negara lain), maupun dari atas (organisasi supranasional) agar mampu menyelesaikan tuntutan-tuntutan pemisahan diri secara damai. Tekanan-tekanan tersebut pada titik tertentu mengharuskan pemerintah untuk meresponnya dengan kebijakan-kebijakan persuasif, jika tidak ingin mendapat predikat sebagai ’pariah state’. Tekanan dari berbagai pihak yang demikian kuat menampilkan negara sebagai pihak yang lemah dan rentan terhadap berbagai persoalan yang menyangkut hubungan negara-masyarakat.

Salah satu penyebab melemahnya peran negara disebabkan karena negara kurang efektif dalam merespon tuntutan rakyat di satu pihak, dan kemampuan gerakan-gerakan sub-nasional dalam menggalang solidaritas dan partisipasi di lain pihak (Stack dan Hebron, 1999:1). Rakyat mengalami proses disilusi peran negara dan mencari peran-peran lain yang mampu mengakomodasi harapan dan dan keinginan mereka akan terpenuhinya hasrat sebagai makhluk berpolitik. 

Munculnya gerakan-gerakan sub-nasional di berbagai belahan dunia menunjukkan gejala yang semakin meningkat ketika peran negara menjadi semakin kompleks. Tuntutan otonomi, penetuan nasib sendiri dan pemisahan diri menjadi gejala umum, tidak saja di negara berkembang namun juga di negara-negara industri maju. Gejala semacam ini mematahkan teori tentang hubungan erat antara modernisasi dan kemakmuran ekonomi dengan nasionalisme yang menyatakan bahwa semakin modern dan makmur sebuah masyarakat, semakin meningkat pula nasionalismenya (Ryan 1990: xx). 

Nasionalisme, menurut Ben Anderson muncul akibat erosi keagamaan. Nation muncul sebagai institusi yang dipercaya untuk penyerahan loyalitas yang sebelumnya diserahkan pada agama. Hal itu terjadi pada pra abad XX. Derasnya dorongan arus globalisasi memunculkan hal yang sebaliknya. Berkaitan dengan keberadaan negara, terdapat dua hal yang menyebabkan melemahnya peran institusi tersebut. Pertama, globalisasi sering disebut sebagai penyebab ‘erosi dari atas’ pada nilai-nilai nasionalisme dan memperkuat kembali institusi agama sebagai sebagai sarana pemersatu (Anderson, 1999). Hal ini banyak terjadi di beberapa komunitas imajiner yang dalam konsepsi Anderson dapat diidentikkan dengan negara. Kini muncul berbagai ‘nation’ tidak resmi maupun virtual state (Rosencrance, 1996) yang dijadikan wadah baru bagi penyerahan kesetiaan para warganya.

Kedua, nilai-nilai nasionalisme juga mengalami krisis akibat gerakan-gerakan masyarakat dari bawah yang bertujuan menggugat peranan negara, yang gejala ini lazim disebut devolusi. Dua fenomena ini menandai babak baru yang sering disebut orang sebagai berakhirnya ideologi (the end of ideology).Berbagai perubahan yang terjadi dalam masyarakat dunia menjadikan negara yang memiliki kapasitas adaptif rendah tidak mampu secara sendiri mengatasi krisis ini sehingga negara tidak lagi dipandang powerful dan legitimasinya seringkali diragukan. Negara sebagai entitas juga diragukan kemampuannya mengatasi tekanan-tekanan itu sehingga memunculkan entitas lain dalam bentuk aliansi negara untuk ‘membantu’ krisis di suatu negara tertentu atas nama intervensi kemanusiaan. Dalam hal ini kedaulatan menjadi harga mahal yang dipertaruhkan.

Munculnya nasionalisme etnik di tingkat negara, menurut Thomas Scheff (1994) ditengarai sebagai akibat rasa keterasingan (sense of alienation) di satu pihak dan kejengkelan karena perlakuan tidak adil dalam suatu sistem yang tidak melibatkan pihak tertentu (unfair exclusion), baik di bidang politik, ekonomi maupun sosial. Perilaku tidak adil ini menghilangkan rasa kebanggaan dan self respect kelompok-kelompok tertentu dalam negara. Akibatnya, terdapat kelompok yang merasa terpinggirkan oleh sistem yang tidak adil sehingga kelompok itu merasa perlu untuk membangkitkan kembali sentimen-sentimen identitas yang bisa membangkitkan kembali rasa percaya diri mereka. Dalam identitas terkandung kepercayaan yang tinggi dari anggota suatu kelompok, yang merupakan refleksi dan artikulasi, baik positif maupun negatif yang mampu membangkitkan rasa persamaan secara emosional yang dapat digunakan sebagai pembeda dengan kelompok lain.

Jika terjadi konflik antara negara dan sub-negara/masyarakat, hal tersebut bisa disebabkan karena terjadi kesenjangan identitas di tingkat makro (negara) dan di tingkat mikro (sub negara/masyarakat). Sub-negara selalu diposisikan sebagai kelompok yang menjadi korban represi negara. Kelompok ini perlu menciptakan atau menemukan kembali representasi identitas yang hilang, jika mungkin berbeda sama sekali dengan identitas di tingkat makro dan berupaya menghilangkan stigmatisasi yang telah diberikan oleh negara. Jika tekanan dari pihak negara berkelanjutan dan dillakukan secara sistematis, ini akan menghilangkan secara perlahan-lahan apa yang disebut Stephen Mennel sebagai “we-images” (Mennel 1994: 182). Kelompok sub-nasionalis akan menarik diri (withdraw) dari kontrak dari organisasi sosial yang bernama negara yang dianggapnya tidak mampu lagi memenuhi kebutuhan emosionalnya. Kelompok ini akan membentuk survival unit yang mampu menampung identifikasi emosional (rasa aman, dan ‘meaning’ di antara mereka) dan fisik (makanan, pakaian, tempat tinggal) yang membuat kelompok tersebut merasa nyaman.

Dalam diskursus identitas, otonomi menjadi suatu tawaran yang mampu menjembatani kebutuhan aktualisasi emosional dan fisik sebuah kelompok. Formula penyelesaian konflik etnis melalui otonomi memang bisa jadi problematik seperti yang terjadi dalam beberapa kasus yang dituliskan dalam makalah ini. Tarik menarik kewenangan antara pemerintah daerah otonomi dengan pemerintah pusat sangat dimungkinkan terjadi. Oleh karenanya, menjadikan otonomi sebagai resolusi konflik seringkali justru menjadi wacana yang menarik untuk diamati. Dalam kasus Indonesia misalnya, kebijakan otonomi khusus yang sudah dilaksanakan secara resmi pada tahun 2001 untuk Aceh dan Papua menimbulkan polemik dan kontroversial.
  • Otonomi sebagai Resolusi Konflik

Para penganjur ’otonomi sebagai solusi’ menyatakan bahwa otonomi dapat berfungsi sebagai sarana pencegah sekaligus penyelesai konflik etnis. Terdapat beberapa alasan yang mendasari pernyataan ini.
Pertama, dalam pengertian luas, otonomi merupakan ekspresi dari hak menentukan nasib sendiri bagi masyarakat yang menuntut kemerdekaan. Otonomi diletakkan pada posisi paling strategis, yaitu di antara opsi merdeka di satu sisi dan perlindungan hak-hak minoritas di sisi lain. Tuntutan merdeka adalah pilihan yang hampir tidak mungkin dilakukan oleh pemerintah negara mana pun karena berbagai alasan dan konsekuensi. Sementara kelompok yang menganggap diri sebagai kaum minoritas atau kelompok marjinal tidak mampu melindungi kelompoknya sendiri tanpa bekerjasama dengan negara. Salah satu aspek penting otonomi adalah pelembagaan perbedaan melalui perlindungan dan pengakuan terhadap keberagaman. Perbedaan lebih diakui sebagai memperkaya daripada membahayakan negara. Otonomi adalah formula yang mampu mengakomodasikan perbedaan.

Kedua, dalam pemerintahan demokratik, otonomi merupakan jaminan partisipasi efektif seluruh komponen masyarakat dalam kehidupan ekonomi dan politik yang menyangkut hak-hak mereka. Tingkat demokrasi sebuah pemerintahan diukur dari kemampuannya mengakomodasikan berbagai tuntutan secara damai dan partisipatif. Otonomi, bagi negara-negara yang dilanda konflik etnis, dapat dianggap sebagai bentuk pemberdayaan masyarakat yang secara struktural merasa terjebak dalam ketidakberdayaan akibat kuatnya cengekraman negara yang berbagai kebijakan yang membatasi kebebasan kelompok etnis dalam menjalankan hak-hak mereka. Dalam konteks ini pemerintah dipaksa untuk membagi kedaulatannya kepada kelompok etnis, yang tidak memungkinkan negara bertindak sesuatu di wilayah otonomi tersebut tanpa persetujuan kelompok etnis yang bersangkutan. Berbagi kedaulatan merupakan salah satu kondisi bagu terpenuhinya atribut demokrasi bagi sebuah pemerintahan.

Ketiga, otonomi dianggap sebagai salah satu mekanisme yang menjamin dilindunginya hak-hak dasar dalam sebuah wilayah otonomi tersebut. Pemenuhan hak-hak dasar, seperti hak menjalankan ibadah, hak berbahasa daerah/lokal maupun hak-hak kultural lainnya, adalah tuntutan yang seringkali diperjuangkan oleh kelompok etnis. Konflik jenis ini bersifat laten dan kelompok kultural menggunakan alasan-alasan separatisme untuk dapat memenuhi hak-hak dasarnya. Otonomi merupakan salah satu mekanisme yang dapat meredakan tuntutan itu.

Keempat, sejalan dengan perspektif demokratik di atas, para pengamat konflik etnis dan penganjur resolusi konflik seperti Ted Gurr dan Kjell-Ake Nordquist berpendapat bahwa pemberian otonomi khusus merupakan salah satu cara penyelesaian konflik yang efektif. Menurut Ake-Nordquist, ”a self-governing intra-state region – as a conflict solving mechanism in an internal armed conflict is both a theoretical and, very often, a practical option for the parties in such conflicts” (Ake-Nordquist 1998, in Cornell, 2002). Belajar dari berbagai kasus pemberian otonomi kepada beberapa wilayah bermasalah di negara-negara lain seperti Basque (Spanyol, tahun 1980), Miskitos (Nicaragua, tahun 1990), Naga (India, tahun 1972), Afar (Ethiopia, tahun 1977), Gaguaz (Moldova, tahun 1994, Chakma (Bangladesh, tahun 1997) terbukti bahwa pemberontakan menuntut pemisahan diri di wilayah-wilayah tersebut menjadi berkurang. Hal ini karena otonomi (daerah dan/atau khusus), dengan konsep ethnoterritoriality, memberi keleluasaan pada kelompok etnis tertentu untuk mengelola sumber daya yang dimilikinya dalam ruang geografi tertentu itu secara lebih mandiri.

Kelima, popularitas otonomi sebagai alternatif penyelesaian konflik terbukti secara efektif mampu diterima sebagai bentuk kompromi win to win soluiton oleh pihak-pihak yang bertikai (dalam hal ini negara dan pihak pemberontak). Kemenangan diperoleh oleh kedua belah pihak, baik pemerintah maupun kelompok etnis: pemerintah tetap bisa mempertahankan integritas teritorialnya dan kelompok etnis mendapatkan kebebasan lebih besar untuk memerintah sendiri. Otonomi kemudian digunakan sebagai formula solusi damai dan pencegahan konflik yang diterapkan di berbagai kasus konflik etnis. Para pemimpin di negara-negara otoritarian sekali pun seperti Burma/Myanmar mencapai kesepakatan diberikannya otonomi bagi tuntutan pemisahan diri di Kachin, Mon, Shans dan Karen walaupun otonomi untuk dua daerah terakhir tidak terlalu berhasil (Gurr, 20000). Para penganut etnofederalisme seperti David J. Meyer (2000), bahkan secara agak berlebihan menyatakan bahwa otonomi merupakan ”resep penyembuh” bagi semua jenis konflik etnis. 

Keenam, itu pemberian otonomi merupakan salah satu pilihan rasional untuk menghindari proliferasi kelahiran ratusan negara baru. Struktur tradisional sistem internasional saat ini terancam oleh melemahnya peran negara dan sebaliknya, menguatnya peran aktor bukan negara dalam merespon tuntutan entitas sub-negara seperti kelompok etnis, kelompok agama maupun entitas supra-negara seperti organisasi regional dan internasional. Oleh karenanya, otonomi merupakan bentuk kompromi yang mampu menyeimbangkan kepentingan teritorial yang saling bertabrakan antara anggota kelompok negara dengan negara. Aspek fleksibiltas yang terkandung dalam otonomi dianggap mampu mengurangi ketegangan etnis.

Ketujuh, pertimbangan lain yang menjadikan otonomi sebagai pilihan rasional adalah perhitungan ’untung-rugi’ antara pemberontak dan pemerintah. Di satu sisi, tidaklah banyak jumlah para pejuang nasionalis yang bersedia memperjuangkan kepentingannya sampai ’titik darah penghabisan’. Sebagian besar mereka bersedia menerima tawaran negosiasi atau bentuk kompromi lain yang memungkinkan mereka memiliki kebebasan lebih besar, dan otnomi merupakan salah satu tawaran menarik. Di lain pihak, pemerintah pusat berkepentingan mengakhiri konflik dengan pemberontak dengan memberi konsesi besar melalui otonomi karena cara ini dianggap murah (daripada melanjutkan sengketa bersenjata) dan aman (dapat diterima oleh masyarakat setempat dan internasional). Jika pihak-pihak yang terlibat dalam konflik menyadari bahwa biaya rekonsiliasi dan akomodasi lebih murah daripada biaya melanjutkan peperangan, maka hal ini merupakan salah satu langkah maju untuk melanjutkan ke arah keputusan yang saling menguntungkan. Kelompok-kelompok yang lebih memilih melanjutkan pertikaian bersenjata daripada memilih solusi politik pada umumnya dinilai sebagai pariah state, seperti yang dialami oleh Serbia yang menolak berunding dengan Kosovo.

Kedelapan, otonomi adalah kebijakan yang didukung oleh PBB, lembaga-lembaga internasional dan negara-negara besar. Dalam kaitan ini sistem internasional berfungsi sebagai lembaga penyedia sistem norma yang melestarikan keberagaman dengan cara memberi pengakuan terhadap hak-hak kaum minoritas dalam wadah otonomi (Cornell, 2002: 250). Sistem internasional yang melestarikan norma-norma konservatif cenderung mendukung tindakan negara yang mempertahankan diri dari para territorial revisionist. Misalnya, pemberian otonomi khusus untuk Papua yang ditetapkan dengan Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2001, mendapat dukungan kuat dari beberapa negara besar dan organisasi internasional seperti Amerika, Australia, Inggris, Jepang, Uni Eropa, Forum Negara-negara Kepulauan Pasifik serta disetujui oleh para elite Papua. Dalam konteks diplomasi, pemberian otonomi merupakan upaya diplomasi pencegahan (preventive diplomacy) yang membantu terpeliharanya stabilitas sistem internasional.
  • Otonomi sebagai Sumber Konflik

Tidak ada konflik yang berhenti dengan sendirinya tanpa diupayakan melalui kerjasama dengan berbagai pihak. Pemeliharaan tatanan dalam sistem internasional memerlukan kemauan pihak-pihak yang berkepentingan untuk saling membantu memelihara tatanan tersebut. Keampuhan otonomi sebagai regulasi konflik etnis telah dibuktikan dengan banyaknya upaya yang dilakukan kelompok-kelompok bertikai menerapkan mekanisme tersebut. Akan tetapi otonomi ternyata bukanlah resep mukjizat yang dapat diterima dan dilaksanakan dengan mudah. Otonomi bisa jadi memicu konflik baru karena solusi tersebut mengandung sejumlah resiko.

Otonomi, khususnya otonomi wilayah, memberi kewenangan yang besar atas penguasaan suatu wilayah tertentu untuk mengatur urusan internal wilayah tersebut. Piagam PBB mengakui otonomi teritorial sebagai ’wilayah berpemerintahan sendiri’ (self-government), namun istilah ini hampir tidak pernah digunakan untuk wilayah otonom karena konsep tersebut secara substansial mengandung resiko. Contohnya, pemerintah Indonesia menolak menggunakan istilah pemerintahan sendiri (self-government) di dalam proses perjanjian Helsinki dengan pihak GAM karena kekhawatiran yang secara potensial timbul dari istilah tersebut, walaupun secara etimologis istilah tersebut tidak berbeda artinya dengan konsep otonomi. Pada tahap tertentu otonomi bertujuan untuk menghindari konflik dengan pemerintah nasional. Pengaturan semacam ini secara potensial dapat menimbulkan konflik dan kekhawatiran bahwa otonomi dapat merupakan sumber konflik baru. Keputusan memberi otonomi kepada wilayah tertentu bukanlah keputusan mudah. Terdapat beberapa alasan yang berkaitan dengan masalah ini.

Pertama, salah satu argumen yang banyak dianut oleh para penganut ”otonomi sebagai sumber konflik” adalah, pemberian otonomi merupakan langkah utama menuju pemisahan diri (Gurr, 2000; Cornell, 2002: 46). Slippery slope yang dipercaya adalah, sebuah negara baru dapat lahir dari pemberian otonomi karena otonomi dapat merupakan ”tempat berlatih” mengelola sebuah negara. Kekhawatiran ini ditunjukkan oleh beberapa pemerintah yang enggan memberi status otonomi kepada wilayah-wilayah mereka yang bermasalah, walaupun secara empiris kekhawatiran ini belum pernah terbukti. Artinya, belum pernah terjadi sebuah wilayah otonomi menjelma dengan mudah menjadi sebuah negara baru. Norma-norma internasional juga tidak memberi kemudahan mencapai hal ini. Dalam banyak kasus, masyarakat internasional pada umumnya masih menjunjung penghormatan atas prinsip-prinsip konvensional tentang integritas teritorial dan pemeliharaan kedaulatan suatu negara. Menurut Gurr, kelompok etnis yang berhasil menjadi negara merdeka bukanlah penjelmaan dari otonomi yang telah diberuikannya, namun merupakan ’kasalahan’ dari tidak adanya negosiasi atau upaya rekonsiliasi antara kelompok etnis dengan negara. Jika suatu negara menginginkan berkurangnya pertumpahan darah, selayaknya menjadi otonomi sebagai solusi, bukan justru menghindarinya (Gurr, 2000).

Kedua, keengganan pemerintah pusat memberi otonomi juga dapat didasarkan pada argumen bahwa otonomi mengandung unsur diskriminasi dan pengistimewaan kelompok tertentu atas kelompok yang lain. Status otonomi merupakan sumber kecemburuan bagi daerah lain. Kecemburuan ini dapat membawa dampak pada mobilisasi etnis, gerakan pemisahan diri dan meningkatkan kemungkinan pecahnya konflik bersenjata (Cornell 2002: 247). Pemikiran mengenai pemberian institusi terpisah sebagai respon konflik etnis sebenarnya tidak sejalan dengan prinsip-prinsip murni demokrasi. Model tradisional demokrasi a la Westminster tidak memberi tempat bagi ’kekhususan’ bagi berkembangnya primordialisme berdasar bahasa, agama, maupun etnis (Hanuum, 2007). Otonomi dikhwatirkan bisa mengisolasikan kelompok etnis tertentu dalam sebuah negara demokrasi sehingga mencegahnya dari partisipasi bernegara secara lebih aktif. Kecemburuan akibat keistimewaan pada kelompok tertentu justru dapat memicu konflik.

Ketiga, otonomi tidak selalu dapat menyelesaikan konflik etnis. Benar bahwa pada beberapa kasus seperti Miskito, otonomi merupakan keputusan terbaik yang mampu mengurangi tingkat ketegangan pihak-pihak yang bertikai. Namun, menurut data proyek Minorities at Risk (Gurr, 2000) menunjukkan bahwa beberapa kasus etnik konflik yang menjadi pengamatan selama tahun 1993-1994, kekerasan etnis justru terjadi sesaat setelah persetujuan antara kelompok etnis dan pemerintah tercapai, seperti yang terjadi di Abkhaz (Georgia), Aceh dan Papua (Indonesia), Moro (Filipina), Sikh (India), Baluchis (Pakistan), Sudan Selatan, Kurdi (Irak). Kenyataan tersebut menunjukkan bahwa otonomi bukanlah jaminan bagi berakhirnya kekerasan etnis. Beberapa kasus konflik etnis yang melibatkan intervensi external seperti Bosnia-Croatia-Serbia, negosiasi perdamaian Dayton tahun 1995 untuk memberi dua otonomi masing-masing pada federasi Bosnia/Croatia dan Serbia gagal menghasilkan perdamaian karena secara empiris sulit mengimplementasikan perjanjian tersebut (Downes, 2000: 22). Kelompok-kelompok tersebut tetap bertikai dan pertikaian semakin meningkat ketika pihak intervener meninggalkan wilayah sengketa. Dalam kasus ini otonomi bukanlah pilihan yang tepat.

Keempat, secara teoritik otonomi menimbulkan masalah antara daerah otonom dengan pemerintah pusat. Kekhawatiran negara atas pemberian status otonomi teritorial untuk wilayah tertentu, sekali pun beberapa sarjana menganggapnya berlebihan, agaknya kekhawatiran itu dapat difahami. Menurut Cornell (2002: 251), terdapat hubungan yang tidak terlalu jelas antara daerah otonom dengan negara dan karenanya sangat berpotensi menimbulkan bahaya pemisahan diri (secessionism). Daerah otonom secara tipikal merupakan institusi menyerupai negara yang memiliki otonomi, sekalipun terbatas. Hubungan antara pemerintah pusat dengan daerah otonom unik, karena bukan merupakan hubungan horizontal antarnegara berdaulat juga bukan nampak seperti hubungan vertikal antara negara dan rakyatnya. Memberi status otonomi secara eksplisit mengakui terjadinya devolusi pemerintah pusat pada wilayah otonom tersebut. Pada saat yang sama, pemerintah pusat juga memelihara hubungan subordinasi dengan wilayah tersebut. Hubungan unik ini lebih tepat disebut hubungan diagonal karena otonomi memberi ruang bagi munculnya negara di dalam negara.



Jika kalian ingin tahu tentang update artikel yang kami buat, silahkan like and share fanspage facebook kami, klik disini .

kunjung juga blog and website kami yang lain .
www.halpatara.com
www.situskus.com


Source : Tugas makalah yang pernah kami buat .

Contact Form

Name

Email *

Message *

http://info-free24.blogspot.com/. Powered by Blogger.